Sabtu, 29 Januari 2011

Ibu…mandikan jenazahku.

oleh Tha LiNa pada 13 Desember 2010 jam 11:07

Perih sekali saat nyawa itu terlepas dari jasadku.
Ada ribuan kali meringis menggelepar lirih saat tiap sel poriku tersentuh,
Tercabut nyawa.
Saat angin menyapu halus kulitku..
Halus……
Perih…….
Koyak….
Luka…..
Aku terasa bergetar tergores lapisan yang dikuliti hidup-hidup.
Dikoyak tanpa bius kapas alkohol nanar yang bau menusuk.
Ada jutaan rasa sakit menggelayut membalut tiap sel kulit ari di tubuhku.
Perih luar biasa.
Lebih menganga dari seribu luka,
Lebih lebam dibanding gores tetes butir garam dimandikan dalam koyak luka yang masih basah.
Perih……….
Saat nyawa itu terpisah,
Tak mampu terdefinisi lewat kata.
Hanya mampu bertawar kata lewat lidah yang sudah putih.
Saat itu aku sudah menjadi mayat.
Aku baru tahu kalau meninggal itu sakit.
Sakit luar biasa.
Perih tiada tara.
Sehabis ujung lipatan dunia.
………
Badanku terbujur kaku,
Tanpa ada asa tersisa kata,
Berharap dapat menggerakkan lidah,
Tapi sayang…
Jangankan tubuh, hatipun tak mampu bergerak.
Ingin sekali mendekati wajah ibu, untuk hanya sekedar ringan berkata..
“ibu…jangan tinggalkan aku……….aku takut”
“anakmu takut….”
“bu….aku takut gelap”
Jujur, aku masih belum mampu berfikir logis tentang dunia baru.
Dunia “alam kubur”
Dunia yang takterdefinisi.
Tanpa ada seseorang.
Tanpa ada teman,
Tanpa ada peneduh,
Jujur aku khawatir.
Ingin mencari perlindungan…
“ibu..ibu..ibu…jangan tinggalkan aku”
Berapa kali aku berkata itu, tapi ibu tetap tidak mendengar.
Ibu tetap tak menoleh…
Tak hanya ibu, tapi semua umat manusia pelayat jenazahku,
Tak ada lagi yang mampu mendengarku.
Kali Ini, aku benar-benar telah menjadi mayat.
Tak ada yang mampu mendengarku lagi.
Aku tak berguna tanpa kata.
Terbujur kaku,
Tersudut mati rasa, nanar pencabutan nyawa.
Tak ada daya, terbaring tanpa asa.
Menjadi mayat.
…………..
Beberapa sibuk menangisiku,
Menggoncang jasadku.
Beberapa pelayat matanya lebam membungkus duka.
Beberapa lagi berwajah datar nanar, aku tak mengerti.
Mereka sedih atau diam-diam tertawa?
Beberapa terdiam di sudut ruang rumahku, entahlah...
Apa perasaan mereka?
Beberapa sibuk menenagkan keluargaku,
Ibuku,
Ayahku,
Adikku.
Beberapa wajah, aku tangkap tanpa ekspresi,
Mereka tak percaya,
Ada yang berbela sungkawa.
Ada yang duduk-duduk.
Ada yang hanya berdiri di luar kediaman keluargaku,
Jutaan ekspresi wajah aku raih bertubi secara gratis saat mereka tahu,
Aku meninggal dunia.
Aku meninggal dunia, kawan.
………
Jenazahku sudah bersiap dibawa beberapa orang untuk dimandikan.
Dimandikan????
Ya..dimandikan.
Hm….
Ini saja masih perih, mau bagaimana lagi di sentuh kulit ariku.
Terlalau nanar lebam berlumuran perih pencabut nyawa.
Tapi mau bagaimana…?
Itu sudah aturan tata urut kewajibannya menjadi mayat.
Teriakan sakitku tak terdengar,
Beberapa kali aku mengadu,
Merintih, pilunya…
Perih…
Luka…
Koyak…
Tapi, tak terdengar.
Aku pasrah kali ini,
Melihat sosok mayat perempuan terbujur kaku bersiap dimandikan.
Mayat itu aku.
Aku sudah menjadi mayat.
Hufffh………….perih.
Hanya alam semesta yang mendengar rintihku.
Perihnya menjadi mayat yang baru terlepas nyawa.
………….
Ibu, nanar tertunduk duka,
Matanya sembab berlingkar kehitaman.
Hitam bertoreh luka di hatinya.
Dia gagu tanpa kata.
Dia tegar tapi rapuh… sekali,
Dia pucat tak bersemangat…
Wajahnya penuh sketsa duka lara,
Aku lihat itu.
Aku sentuh berulang kali,
Tapi ibu tak merasakannya.
Aku mati.
Ia hidup.
Hmm..
Dihadapannya telah terbujur sosok mayat anak perempuan,
Semua peralatan mandi sudah disiapkan,
Tangan ibundaku yang pertama membasuh tubuhku,
Menyentuhku,
Memegang kulit mayatku.
Inilah tangan wanita yang dulu biasa memandikanku saat aku masih kecil,
Saat aku masih pucuk,
Bayi,
Ingusan,
Coklat,
Saat aku masih ompong,
Saat aku masih mungil.
Kecil,
Hingga jadi mayat.
Ini perih luar biasa,
Tapi selalu aku tahan gemericik racikan luka.
Aku hanya ingin tangannya, tangan ibundaku…
Rasanya tak ingin ada manusia lain yang berhak menyentuh tubuhku yang menjadi mayat,
Rasa ingin selalu disentuhnya..
Membelai habis tiap sisi lipatan tubuhku,
Tubuh yang dulu pernah ia perjuangkan untuk lahir ke dunia.
Tubuh yang tiap hari dia tunggui saat masih bayi,
Beberapa kali ku tatap pelan sudut matanya,
Ada jutaan tetes air mata yang sengaja kuat ia tahan di ujung matanya.
Tertahan di pelupuk terujung sudut matanya.
Mata yang layu, nanar karena berduka.
Mata ibundaku.
Ah….mata itu.
Ingin sekali menyapa sekedar mengingatkan..
Ibu..pelan-pelan menyentuhku…
Pelan-pelan memandikan jenazahku..
Tapi, lidahku kelu mati rasa tak terdefinisi kata.
Dimandikan itu perih…
Air bersentuh kulit,
Kulit beradu kain..
Digosok,
Disabun..
Diguyur air busa..
Disentuh..
Dibersihkan..
Dibasuh..
Berulang-ulang.,
Beberapa kali digosok bolak-balik..
Huuuuuuuuuuuuufffffffffh…..
Ya Tuhan..
Perrrrrrihhhhhhh….merintih..
Ibu……pelan-pelan…..
Ini terasa dikoyak,
Dikuliti..
Menjadi mayat.
……………
Aku hanya ingin disentuh ibuku dimasa akhir,
Sebelum jasadku dimasukkan ke liang lahat,
Liang yang menjadi tempat terakhirku,
Menjadi episode penutup seorang marthalina.
Tempat yang menjadi awal aku dieksekusi,
Kalkulasi amal dan dosa riwayat hidupku.
Kali ini aku sadar sesadar-sadarnya…
Menajadi mayat itu adalah sebuah kepastian.
Sekarang sudah menjadi mayat.
Hmm….
Ibu,
Aku takuuuuuut…
Aku khawatir,
Aku sepi.
Aku sendiri.
Aku sebatang kara.
Aku meninggal.
Aku dimandikan.
Aku dikafankan.
Aku dikubur,
Aku dikhisab.
SENDIRI.
SUNYI.
………….
(“segera bawa ke kubur……kita makamkan”)
Aku bergidik bingung….
Belum sempat berfikir lain-lain,
-Episode selanjutnya dimulai-

(Eksekusi anak manusia)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar