Sabtu, 29 Januari 2011

hidup itu keras

oleh Tha LiNa pada 14 Desember 2010 jam 21:53
 
 
 
 
 
masih nanar torehan ingatanku saat aku masih terlalu belia dan puber.
masa SMP,
usil luar binasa,
beda jauh dengan aku yang sekarang,
sudah lumayan sangat terkontrol dan cuma kambuh-kambuhan saat moment gila tertentu.
sering bikin ulah dan bikin malu,
itulah masa SMP.
tapi aku suka dan sangat berkesan,
aku masih ingat,
aku punya dua orang sahabat yang sangat akrab,
diakui aku sering sekali bertengkar hebat,
melempar tipe ex,
pulpen, penghapus,
merobek buku,
dan sebagainya,
tapi kami bertiga terlalu sering terbahak-bahak bahagia bersama.
sampai aku merah sakit perut menahan geli setengah mati.
kami sangat akrab,
mereka penghibur lara.
sering berbalas hadiah,
meski cuma sebatas alat tulis atau benda murahan anak SMP.
...........
aku banyak mengalami perubahan hidup,
lebih tepatnya kami bertiga,
setelah lulus SMP kami bertiga berpisah,
tak sekalipun pernah bertemu,
atau dipertemukan,
ya..
banyak perubahan.
dan itu wajar.
kurang lebih tujuh tahun kemudian aku dipertemukan lagi,
anggap saja inisial mereka berdua adalah A dan B.
kali itu aku dipertemukan dengan A tanpa kesengajaan,
aku senang tiada terkira,
bisa berjumpa dengan sahabat lamaku.
kami banyak bercerita dan berbagi kisah,
suka duka,
sekarang bagaimana,
sudah menjadi bagaimana,
bagaimana kabar hati,
dan segalanya...
semua tentang aku, dia dan kita.
rasanya tak ada cukup waktu,
sekedar untuk berkisah tentang masa tujuh tahun kami tak berjumpa,
jujur...
aku kaget bukan kepalang saat pertama kali bertemu,
aku telah menggunakan penutup kepala,
begitu pula sebaliknya,
kami telah menyepakati hati membungkus apa-apa yang sekiranya harus dibungkus,
aku dan dia,
lebih tepatnya kami sangat senang dan bersyukur.
............
suatu hari kami menemukan alamat rumah B dalam sebuah ekspedisi mungil,
kami berhasil menemukannya,
bertanya ini itu,
mengajukan beberapa identitas dan ciri-ciri,
hehehee..
masyarakat bercerita si B sudah menikah dan punya anak,
yaaa.....Salam.
aku dan A langsung tertunduk malu,
kami kalah pasaran nee,,,
gahahaaahaha...
tapi lebih jauh dari itu sudut batinku merasa ada serpihan kekecewaan,
ya..kecewa saja, dengan pernikahan yang belum terbilang dewasa (menurut logikaku)
tapi apa mau di kata,
itiu sudah menjadi jalan hidupnya,
aku masih terlalu terseok dengan berkutat soal pendidikanku,
A sibuk dengan pekerjaan,
dia kuliah cuma tidak sampai sarjana,
(tak masalah)
sedangkan B sudah sibuk dengan rumah tangga,
aku merasa menjadi paling junior diantara mereka berdua.
mereka pasti jauh lebih kuat membijaksanai hidup.
(batiku)
....
alamatnya telah kami kantongi,
tinggal meluncur kesana,
sudah ada buah tangan yang kami bawa untuk sekedar membahagiakan tuan rumah,
aku kangen sahabatku,
"tok..tok..tok.."
assalamualaikum....."
tapi belum sempat sang empu rumah menjawab salam,
sudah ada manusia mungil, (hahah..balita)
yang berlarian membukakan pintu,
rumahnya agak tanggung,
tak terlalu kecil, tapi relatif luas,
sederhana.
tapi tunggu...
oh my God..
ini anaknya?
masih kecil-kecil....
entahlah..
kami tak benar yakin kami sudah mendatangi rumah yang tepat hingga kami melihat wajah B,
dari dalam keluar seorang wanita,
dengan tinggi yang agak sedang dengan perawakan yang sangat kurus,
wajahnya samar-samar sangat polos tannpa make up,
(aku suka itu, lebih natural) hee..
matanya sayu, tapi penuh harap melihat siapa tamu yang mendatangi rumahnya,
....
"eh...Martha, eh..ada A..."
ayo masuk, astagfirullah...kenapa bisa menemukanku.."
wajahnya kaget melihat kami bertengger penuh harap di depan pintunya,
kami berdua dipersilahkan masuk,
o...
ternyata anaknya ada tiga orang,
"bagaimana kabarmu...B?"
itulah kalimat pembukaku...
mencairkan suasana kagok super salah tingkah,
tujuh tahun tak berjumpa..
dia menjawab kabarnya baik dan agak kurang bersemangat.
matanya tak bersinar secara sempurna,
tak rapi dan lebih banyak kaget menatap aku dan A,
aku dan A maklum..
itu wajar,
kami hari ini mengagetkannya,
mendatangi rumahnya,
......
beberapa kali kami membuka lembar kisah-kisah masa SMP dulu,
sesekali B tertawa,
aku dan A ngocol abis,
aku mendadak kambuh,
tapi kali ini agak terkontrol,
B juga tertawa..sesekali,
tapi tawanya tak lepas,
ada banyak alasan hingga tertahan,
suasana hatinya tak seindah kami waktu SMP,
akupun maklum...
percakapan beralih kemasalah pribadi,
B banyak bertanya tentang studiku,
aku jawab seadanya dengan meminta doanya agar diberi kelancaran,
ia banyak mengangguk,
A banyak mendapat pertanyaan seputar pekerjaan..
A sangat bersemangat,
A sangat senang tiap bulan dapat menyisihkan uang gajihnya,
untuk sekedar membelikan makanan dan kue kesukaaan ibunya yang sekarang terkena penyakit stroke,
aku galau...tertunduk terasa bagiku..hidup itu keras Tha..."
hidup itu......
ah,
keras.
keras.
keras.
.....
kami beradu saling silang pertanyaan,
hingga A bertanya..
"mana suamimu?"
B kaget bukan kepalang!
kami seolah menoreh luka lama tanpa sengaja,
sepintas ku tangkap rona galau yang tertahan,
aduuuuuuhhh..kacau (aku membatin)
"suamiku sudah meninggal lima bulan yang lalu..."
ya Allah, aku mati rasa,
badanku terasa luluh lantak tak ada darah,
mendadak aku susah mencari oksigen,
aku kaget bukan main,
aku dan A merasa sangat bersalah.
membuka jahitan lama.
"maaf..kami turut berbela sungkawa"
itulah kalimat yang dapat kami ucapkan,
ada nanar air mata yang tertahan di sudut mata B,
aku tangkap raut itu.
aku seakan melihat irisan luka yang menganga.
aku sadar,,
sadar sekali bahkan.
B itu seumuran denganku,
untuk umur segitu sudah menerima beban hidup yang sangat berat,
ditinggal suaminya meninggal dunia,
dengan tiga orang bocah ingsan
sedangkan B hidup tanpa ada pekerjaan  tetap.
"subhanallah....lengkaplah deritanya" (aku membatin)
.....
anaknya putus sekolah,
pekerjaan B hanya menjahit baju yang tak menentu penghasilannya,
rumahnya biasa,
tapi sudah tiga bulan tak pakai lampu listrik,
tak sanggup bayar listrik lagi,
sungguh..
menangis tak berair mata.
.....
kami bertiga banyak berbagi cerita,
berapa kali aku didoakannya agar studiku lancar dan dapat menggapai cita-cita,
aku terharu,
batinku hari itu bergoncang kegalauan.
miris,
aku ingin menangisi keadaan itu,
doanya sangat tulus,
doa yang keluar dari lipatan hati B yang terlalu banyak sketsa hidup.
aku cengeng, tapi ku tahan,
aku diam-diam juga mendoakannya kebahagiaannya.
.....
kami berdua berpamitan pulang,
ini sudah agak sore,
kami tak mau terlalu lama menyita waktunya,
anak ingusannya ada tiga,
itu bikin panik bagi yang tak biasa,
A menyelipkan sejumlah uang sebagai oleh-oleh untuk tiga bocahnya,
aku.. menahan air mata.
betul-betul menahan air mata,
aku galau.
batinku tak terdefinisi,
diam-diam aku mensyukuri titian hidupku saat ini,
aku wajib bersyukur.
......
kami berpamitan,
aku menggenggam tangannya berulur pamit,
ada bias duka yang belum sembuh dalam hatinya,
ada banyak torehan hidup untuk hari esok yang harus ia fikirkan
bagaimana mereka makan,
bagaimana sekolah anaknya,
bagaimana ini,
bagaimana itu,
harus bagaimana,
dengan siapa,
untuk apa,
kapan ini bisa,
kuatkah?
mampukah?
sabarkah?
syukurkah?
ikhlaskah?
aku...susah bernafas hanya untuk sekedar memikirkannya,
.....
A dan aku menyelipkan sedikit uang untuknya,
awalnya kami ragu, takut B tersinggung,
tapi sudahlah..
aku bilang saja untuk ini oleh-oleh untuk membeli robot bagi putra ingusannya,
(hufffffhhhh..tha kamu kacau, masa untuk beli mainan!)
tapi sudah lah itu cuma kamuflase agar ia tidak tersinggung atau tersudut.
ku tangkap sekialas,
mata B ada cairan bening,
terlihat berkaca-kaca dan tertahan
aku yakin B sangat terharu,
itu tak seberapa kawan..
kami hanya sepintas lalu yang melihat dengan mata kepala...
hidup itu keras,
hm...

(semoga kau selalu dikarunia semangat, hingga putus asa mati dalam benakmu kawan)


untuk marthalina yang sering lupa bersyukur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar